Pengaruh Komponen Lingkungan Air dan Perilaku Hygiene Masyarakat terhadap Prevalensi Stunting di Indonesia




Oleh: Liestya Risnawati

Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran 

Universitas Lampung



Stunting merupakan masalah global dan kompleks. Banyak upaya penyelesaian stunting berfokus pada bidang Kesehatan terkait pencegahannya. Melalui pembahasan ini penulis berusaha mengkaji upaya penyelesaian stunting dari segi Kesehatan lingkungan dan perilaku hygiene masyarakat yang ternyata memiliki peran penting dalam menekan prevalensi stunting di Indonesia.

Kata Kunci : stunting, kondisi air, sanitasi, lingkungan.


PENDAHULUAN

Latar Belakang

Stunting merupakan masalah gizi balita di seluruh dunia termasuk di Indonesia, oleh karenanya stunting menjadi salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan  (Sustainable Development Goal’s /SDG’s) dari Organisasi Kesehatan Dunia / Wolrd Health Organization (WHO). Stunting mengacu pada anak yang perawakannya terlalu pendek untuk usianya. Anak-anak yang terkena stunting akan mengalami gangguan tumbuh kembang yang bersifat ireversible atau menetap seumur hidup bahkan dapat mempengaruhi generasi berikutnya.  Anak stunting berisiko mengalami peningkatan morbiditas dan mortalitas, penurunan kekebalan sistem imun dan peningkatan risiko infeksi Anak-anak yang menderita stunting juga memiliki konsekuensi yang berlanjut hingga dewasa seperti kesulitan belajar di sekolah, berpenghasilan lebih rendah sebagai orang dewasa, dan menghadapi hambatan untuk berpartisipasi dalam komunitas mereka1

 Menurut WHO terdapat kurang lebih 148,1 juta, atau 22,3 % anak di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia terkena dampak pada tahun 2022. Hampir semua anak yang terkena dampak berasal dari Asia (52% dari pangsa global) dan Afrika (43 % dari pangsa global).1  Berdasarkan data survey status gizi nasional (SSGI) tahun 2022, prevalensi stunting di Indonesia diangka 21,6%. 

Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 24,4%. Walaupun menurun, angka tersebut masih tinggi, mengingat target prevalensi stunting di tahun 2024 sebesar 14% sedangkan standar WHO <20%.2



Tabel 1. Angka Prevalensi Stunting periode tahun  2007-2022 menurut Riskesdas dan SSGI.2

Untuk prevalensi stunting di provinsi Lampung sendiri berdasarkan data survey status gizi nasional (SSGI) mengalami penurunan dari 18,5% di tahun 2021 menjadi sebesar 15,2% pada tahun 2022.




Tabel 2. Perbandingan Angka Stunting SSGI setiap Provinsi di Indonesia tahun 2021-2022.2


Terdapat beberapa faktor penyebab stunting menurut kerangka konsep WHO. Faktor-faktor tersebut diantaranya faktor keluarga dan rumah tangga yaitu ayah atau ibu pendek, kelahiran prematur, panjang badan lahir bayi yang pendek, tingkat pendidikan ibu rendah, status sosioekonomi yang rendah, riwayat merokok pada orang tua, kepadatan hunian, adanya demam dan cakupan imunisasi yang rendah hingga air, sanitasi, dan kebersihan/hygiene yang tidak memadai.3,4

Air, Sanitasi dan Higien (Water, Sanitation, and Hyhiene (WASH)) berpotensi mempengaruhi nutrisi anak melalui setidaknya tiga jalur: cacing usus, Environmental Enteric Dysfunction (EED) dan serangan diare berulang (Dangour et al., 2013). Ketiga jalur ini dimediasi oleh paparan patogen enterik yang dapat dicegah dengan Water sanitation and Hyhiene (WASH) yang baik.3,5




Gambar  2. The World Health Organization conceptual framework on childhood stunting: Proximate causes and contextual determinant.3,4


EED adalah sindroma peradangan kronis yang sebagian besar tanpa gejala (asimtomatis) yang menyebabkan berkurangnya penyerapan nutrisi usus, dan melemahnya fungsi pertahanan (barrier) usus kecil. Ada penelitian observasional yang menunjukkan bahwa kondisi ini dikaitkan dengan WASH yang buruk dan kekurangan gizi (Haghighi et al., 1997; Humphrey, 2009; Keusch et al., 2014; Crane et al., 2015).3



Gambar  3. Bagaimana WASH berdampak terhadap kekurangan nutrisi pada anak-anak.3

Air baku adalah air yang dipergunakan sebagai bahan pokok untuk diolah menjadi air minum. Sumber air baku dapat berasal dari mata air, air permukaan (sungai, danau, waduk, dll.), air tanah (sumur gali, sumur bor) maupun air hujan. Data BPS (2021) mencatat bahwa terdapat sungai-sungai yang menjadi sumber air baku air minum bagi masyarakat di beberapa provinsi. 

Kualitas air sungai yang digunakan sebagai bahan baku air minum menjadi sorotan utama, karena menyangkut pada kesehatan masyarakat yang akan mengonsumsinya. Tabel 3 menampilkan data kualitas air sungai yang digunakan sebagai bahan baku air minum tahun 2020 pada masing-masing provinsi di Indonesia dengan dilengkapi perbandingan terhadap baku mutu air kelas I menurut PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Parameter Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), fecal coliform, dan total coliform teramati dalam kondisi yang kurang hampir di seluruh provinsi (Tabel 3.). Provinsi DI Yogyakarta memiliki nilai yang sangat tinggi untuk keempat parameter tersebut. Hal ini menandakan bahwa sungai-sungai yang digunakan sebagai bahan baku air minum pada seluruh provinsi memiliki kondisi kualitas air yang masih belum baik, terutama berkaitan dengan pencemaran domestik.6

Tabel 3. Kualitas Air sungai yang Digunakan sebagai bahan baku Air Minum di Indonesia tahun 2020. (Sumber Status Lingkungan hidup Indonesia 2022) 6


Tabel 4. Persentase Rumah Tangga yang memiliki Akses terhadap Sumber Air Minum Layak di Indonesia Tahun 2017-2021 (%). 6

Akses air minum layak merupakan salah satu infrastruktur dasar untuk menunjang kualitas kesehatan masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap air minum layak sebesar 90,78% tahun pada 2021 (Tabel 4.). Persentase tersebut naik dari tahun sebelumnya yang sebesar 90,21%. Melihat trennya, jumlah rumah tangga yang memiliki akses air minum layak semakin meningkat dalam 5 tahun terakhir. Adapun, lonjakan persentase rumah tangga yang memiliki akses air minum layak terjadi pada 2019. Berdasarkan wilayahnya, Provinsi DKI Jakarta menjadi provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki akses air minum layak tertinggi yakni 99,86% (Tabel 4.). Posisinya diikuti oleh Provinsi Bali dengan persentase sebesar 97,56%, DI Yogyakarta sebesar 95,69%, Jawa Timur sebesar 95,02% dan Nusa Tenggara Barat sebesar 94,60%. Adapun, Provinsi Papua dan Bengkulu menjadi provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki akses air minum layak terendah, masing-masing sebesar 64,92% dan 67,39%.6

Masalah

Prevalensi Stunting di Indonesia menurut WHO masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yaitu diatas 20%. Kondisi kualitas air pun masih belum baik di seluruh provinsi di Indonesia. Sanitasi penyediaan air bersih, komponen lingkungan air terutama yang berkaitan dengan pencemaran domestik dan hygiene yang buruk, akan menjadi suatu masalah yang berkepanjangan bagi pemerintah  dalam menekan prevalensi stunting di Indonesia. 

Tujuan

Mengetahui pengaruh komponen lingkungan air, sanitasi dan perilaku hygiene masyarakat dengan kejadian stunting.

PEMBAHASAN

Landasan Teori

Stunting merupakan perawakan pendek atau sangat pendek berdasarkan panjang/tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 Standar Deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO, disebabkan kekurangan gizi kronik yang berhubungan dengan status sosioekonomi rendah, asupan nutrisi dan kesehatan ibu yang buruk, riwayat sakit berulang dan praktik pemberian makan pada bayi dan anak yang tidak tepat. Stunting menyebabkan hambatan dalam mencapai potensi fisik dan kognitif anak. Kurva pertumbuhan yang digunakan untuk diagnosis stunting adalah kurva WHO child growth standard tahun 2006 yang merupakan baku emas pertumbuhan optimal seorang anak.4 

Terdapat beberapa faktor menurut WHO yang berperan dalam terajadinya stunting. Diantara  penyebab di rumah adalah keamanan makanan dan air, adanya makanan dan air yang terkontaminasi, praktik higienitas yang buruk. Pada penyebab komunitas salah satunya dipengaruhi oleh kondisi air, sanitasi dan lingkungan.

Gambar  4. Tumbuh dan berkembangnya Stunting serta  Konteks, Penyebab dan Akibatnya3

Pada Teori H.L. Blum disebutkan bahwa derajat kesehatan ditentukan oleh 40% faktor lingkungan, 30% faktor perilaku, 20% faktor pelayanan kesehatan, dan 10% faktor genetika (keturunan).7

Pada faktor lingkungan yaitu air yang digunakan untuk keperluan air minum dan air untuk hygiene dan sanitasi. Keduanya memiliki  standar baku tertentu. Standar baku mutu (SBM) pada air minum terdiri atas kualitas secara fisik, kualitas secara biologi, kualitas secara kimia dan kualitas secara radioaktivitas. Standar baku mutu air untuk keperluan hygiene dan sanitasi meliputi kualitas secara fisik, kualitas secara biologi, dan kualitas secara kimia. Seluruhmya diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No 2 Tahun 2023. 7,8


Table 5. Parameter Wajib Air Minum8



Tabel 6. Parameter Air untuk Keperluan Higiene dan Sanitasi8

Kajian Teknis

Ada beberapa penelitian yang dilakukan terkait kondisi air, sanitasi dan higienitas dengan kejadian stunting. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kwami di Ethiopia secara keseluruhan faktor WASH dalam sampel menyumbang 7% dari faktor resiko penyebab stunting. 9


Table 7. Determinant WASH : Single Regression Analyses

Kemudian ada penelitian yang dilakukan untuk melihat adakah hubungan sanitasi penyediaan air bersih dengan kejadian stunting oleh Septi,K dan kawan-kawan di kecamatan Kalasan Daerah Istimewa Yogyakarta. Seperti yang kita ketahui DI Yogyakarta memiliki data Parameter Biochemical Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), fecal coliform, dan total coliform  paling tinggi. 


Table 8. Hubungan sanitasi penyediaan air bersih dengan kejadian stunting.10

Hasil penelitian tersebut menunjukkan ada hubungan signifikan antara sanitasi penyediaan air bersih dengan kejadian stunting (p=0,047, OR=2,705). Disarankan bagi masyarakat perlu membersihkan area sekitar sumur gali/ledeng dari kotoran hewan ternak dan sampah, menghindari genangan air serta perbaikan retakan sekitar sumur.10

Penelitian lain juga dilakukan oleh Hasanah di Ambon pada anak-anak dibawah 2 tahun. : Hasil penelitian menunjukkan bahwa WASH (OR=2.7, CI 95%: 1.379–5.566) dan status Berat Badan Lahir Rendah (OR=5.1; CI 95%: 2.279–11.445) merupakan faktor risiko stunting. Sedangkan status diare (OR=2,4; CI 95%: 0,793–7,302), imunisasi (OR=1,4; CI 95%:0,622–3,260), dan riwayat merokok anggota rumah tangga (OR=1,1; CI 95%:0,540-2,086) adalah faktor risiko, tetapi secara statistik tidak signifikan. Pendidikan ibu (OR=1.0) bukan merupakan faktor risiko untuk stunting pada anak usia 7-24 bulan.11


Table 9. Tabel Distribusi dari Faktor Resiko Stunting pada Anak berusia Kurang dari Dua tahun di Ambon.11

Adapun penelitian tentang peningkatan sanitasi dikaitkan dengan penurunan stunting anak pada anak-anak Indonesia di bawah usia 3 tahun di tiga propinsi yaitu Jayawijaya Papua, Klaten Jawa Tengah dan di Sikka Nusa Tenggara Timur (NTT).12




 

Table 10. Crude and adjusted OR household water and sanitation condition in relation to stunting for children aged 6-35 month who participated in MYCNSIA end-line survey.12

Hasilnya adalah terdapat perbedaan yang signifikan pada fasilitas sanitasi yang laik dengan tidak laik, peningkatan kualitas sumber air minum, dan faktor ekonomi.


KESIMPULAN DAN SARAN 

Kesimpulan

Terdapat hubungan antara komponen air, sanitasi, dan perilaku higien masyarakat dengan prevalensi stunting. Sanitasi yang tidak layak ternyata menjadi prediktor penting dalam terjadinya stunting pada anak-anak di Indonesia. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan dapat menambah literatur tentang efek sanitasi pada status gizi anak. Dengan mengatasi sumber air dan praktik perilaku hygiene dapat memberikan pendekatan terpadu yang lebih kuat dan lebih tepat sasaran untuk pencegahan stunting selain berfokus pada nutrisi seperti pedoman tatalaksana stunting saat ini.

Saran

Dalam upaya intervensi masalah stunting, perlu membuat kebijakan baru serta  program penatalaksanaan terpadu untuk stunting yang berfokus juga pada Komponen Air, Sanitasi dan perilaku Higien masayarakat.   


DAFTAR PUSTAKA


1. UNICEF/WHO/World Bank Group Joint Child Malnutrition Estimates. Levels and Trends in Child Malnutrition.; 2023.

2. Liza Munira S, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan K. Disampaikan Pada Sosialisasi Kebijakan Intervensi Stunting Jakarta, 3 Februari 2023 Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022.

3. Esteves Mills J, Cumming O, Benova L, et al. THE IMPACT OF WATER, SANITATION AND HYGIENE ON KEY HEALTH AND SOCIAL OUTCOMES: REVIEW OF EVIDENCE.; 2016.

4. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/1928/2022 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Stunting.; 2022:1-52.

5. Septiyani W, Sulistiyani S, Joko T. Literature Study: Relationship Of Access To Clean Water And Drinking Water Quality With Stunting In Toddlers 2010-2020. International Journal of Health, Education and Social (IJHES). 2021;4(1):1-17. www.ijhes.com

6. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2022.; 2023.

7. Islam Fahrul, Priastomo Y, Mahawati E, et al. Dasar-Dasar Kesehatan Lingkungan. Vol 1. 1st ed. (Rikki A, ed.). Yayasan Kita Menulis; 2021.

8. Menteri Kesehatan Republik indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Repu Blik Indodnesia Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Lingkungan. 55; 2023:1-175. www.peraturan.go.id

9. Kwami CS, Godfrey S, Gavilan H, Lakhanpaul M, Parikh P. Water, sanitation, and hygiene: Linkages with stunting in rural Ethiopia. Int J Environ Res Public Health. 2019;16(20). doi:10.3390/ijerph16203793

10. Khotimatun Nisa S, Deta Lustiyati E, Fitriani A, Studi Kesehatan Masyarakat Program Sarjana P, Respati Yogyakarta U. Sanitasi Penyediaan Air Bersih Dengan Kejadian Stunting Pada Balita.; 2021. https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jppkmiURL:hhttps://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jppkmi/article/view/47243

11. Hasanah U, Maria IL, Jafar N, Hardianti A, Mallongi A, Syam A. Water, sanitation dan hygiene analysis, and individual factors for stunting among children under two years in ambon. Open Access Maced J Med Sci. 2020;8(T2):22-26. doi:10.3889/oamjms.2020.5177

12. Rah JH, Sukotjo S, Badgaiyan N, Cronin AA, Torlesse H. Improved sanitation is associated with reduced child stunting amongst Indonesian children under 3 years of age. Matern Child Nutr. 2020;16(S2). doi:10.1111/mcn.12741

 








Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.